Max Havelaar - Multatuli

goodreads
Judul: Max Havelaar
Pengarang: Multatuli
Penerjemah: Inggrid Dwijani Nimpoeno
Penerbit: Qanita
Terbit: Cetakan ke-10, Juni 2016
Tebal: 480 hlm
Genre: Historical Fiction

“‘Buku ini campur aduk; tidak beraturan, hanya ingin mengejar sensasi. Gayanya buruk; penulisnya tidak berpengalaman; tidak berbakat, tidak punya metode.’


Bagus! Bagus! .... Semuanya itu benar! ... tapi orang Jawa diperlakukan dengan buruk!—p. 462

Droogstoppel adalah seorang makelar kopi yang tinggal di Lauriergratcht No. 37, yang pada suatu hari bertemu dengan teman masa sekolahnya pernah menyelamatkannya dimasa kecil dulu. Droogstoppel melihatnya, dan segera mengetahui kalau pria yang selalu ia panggil Sjaalman (karena Havelaar menggunakan syal) itu sedang dalam keadaan kesulitan uang, maka sebagai orang yang tidak munafik ia mencoba menghindarinya.

Meski begitu, rupanya Havelaar adalah orang yang gigih. Dia mengirimkan surat kepada Droogstoppel beserta beberapa manuskrip tulisannya yang ia harapkan Droogstoppel mau membantunya untuk menerbitkannya. Awalnya, Droogstoppel memang tak peduli, tapi begitu melihat berkas dengan judul kopi ia membayangkan bahwa buku yang akan ia tulis dengan bahan-bahan dari manuskrip Havelaar akan berguna bagi banyak orang.

Tapi, Droogstoppel adalah seorang makelar kopi dan ia sebenarnya tidak tau bagaimana caranya menulis. Jadi dalam penyusunan buku berjudul Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda, dia dibantu oleh anak-anaknya, Frits dan Marie, serta Ernest Stern, putra keluarga pedagang kopi ternama yang magang di perusahaan Droogstoppel.

Sayangnya dalam perkembangan tulisannya, Stern muda sama sekali tidak memuaskan Droogstoppel. Tulisan-tulisan Havelaar, cerita mengenai pengalaman, perjuangan dan penderitaannya dianggap omong kosong oleh Droogstoppel. Tapi apakah Stern peduli? Awalnya, ya, bisa dilihat dari perubahan gaya bercerita Stern yang tadinya berapi-api menjadi berhati-hati setelah surat panjang lebar Droogstoppel mengenai betapa konyolnya puisi yang dibacakan Stern untuk Marie—Betapa banyak amoralitas serta kebohongan yang disebabkan kungkungan rima—Tapi kemudian, Stern memilih mengabaikan filsafat absurd pria yang menjadi mungkin akan menjadi mertuanya itu. Bahkan seolah menyindir dengan menyiapkan jawaban-jawaban jika kisah melankoli Saidjah (pasti tokoh inilah yang dimaksudkan oleh covernya) yang ia tuliskan dianggap sebagai salah satu kebohongan.

“Salahku atau salah diakah jika kebenaran, agar bisa menemukan jalan masuk, harus sebegitu sering meminjam GAUN kebohongan?”—p. 401

Buku ini memang mempunyai lebih dari satu sudut pandang, dan kesemuanya punya auranya masing-masing. Baik Stern, yang membaca baik-baik berkas-berkas Havelaar, menulis dengan bersemangat hal-hal yang tak bisa disampaikan Havelaar yang berhati lembut dan pikirannya tajam (dua hal ini seringkali menyulitkan dirinya sendiri), Droogstoppel yang ... meskipun awalnya pemikirannya dapat dipahami dan disetujui, lama kelamaan jadi menjijikan. Bahkan Multatuli pada akhirnya muncul di akhir buku.

Cukuplah, Stern yang baik! Aku, Multatuli, mengambil alih pena.”—p. 460

Beliau menyatakan, bahwa meski Stern, Droogstoppel dan Havelaar adalah tokoh rekaannya tapi semua fakta dan keadaan yang disampaikannya adalah kebenaran. Dan berharap, bahwa orang-orang akan peduli setelah membacanya.

Namun sebenarnya, kebenaran apa yang berusaha diungkap dengan sia-sia oleh Havelaar dan Stern ini?

#BBIIndoHisfic
Dalam sistem pemerintahan di Hindia Belanda, ada jabatan Bupati yang secara sederhana dipegang oleh keturunan mantan penguasa pribumi sebelum Belanda berkuasa. Dan sebagai keturunan darah biru, sudah sepantasnya bupati-bupati ini berpenampilan sesuai dengan jabatannya. Bupati tentu saja mendapatkan gaji, tapi mereka juga bisa mendapatkan bonus dari persenan karung-karung kopi (atau tanaman lain yang laku di pasar dunia) yang dihasilkan daerahnya melalui tanam paksa.

Meski namanya Tanam Paksa, secara teori Tanam Paksa tidak memberatkan rakyat. Selain karena hal-hal mengenai Tanam Paksa ini diatur oleh negara (melalui staatsbald tahun 1834 No 22) Juga karena di daerah kekuasaan Bupati, ada Asisten Residen yang bertugas untuk melindungi rakyat dari tirani dan kesewenang-wenangan pemerintah.

Ini dia masalahnya. Daerah Lebak, tempat Havelaar bertugas, bukan tempat yang baik bagi kopi. Sementara itu, Bupati tetap memaksa menjaga imej dengan menyantuni kaum ulama dan memamerkan kekayaannya pada Bupati-Bupati daerah lain yang sebenarnya lebih kaya. Bupati Lebak sudah tua dan miskin, itulah kenyataanya, semua kekayaan yang ia pamerkan sebenarnya adalah hasil merampas dari rakyatnya sendiri dan sawahnya dibajak oleh rakyat tanpa dibayar, sehingga mereka tak sempat mengurus sawah mereka sendiri.

“Di tempat kemiskinan atau bencana kelaparan menciutkan jumlah penduduk. Ini dikatakan sebagai akibat panceklik, kekeringan, hujan, atau sesuatu yang lain, dan TIDAK PERNAH KARENA SALAH PEMERINTAHAN.”—p. 303

Tentu saja, Havelaar tidak tinggal diam dalam hal ini. Tapi hatinya yang lembut dan pikirannya yang tajam berkata bahwa ia harus melakukan penyelidikan dengan penuh pertimbangan. Maka ia mencoba membujuk Bupati untuk merubah gaya hidupnya dan memikirkan rakyatnya yang menderita akibat perbuatannya.

Hanya saja penyelesaiannya tidak semudah itu. Terjadi penipuan, suap menyuap, dan koruspsi hampir di seluruh lapisan pemerintahan. Karenanya, mengakui kebenaran yang disodorkan Havelaar sama saja dengan mengakui kejahatan yang mereka perbuat. Sementara itu rakyat tak bisa berbuat apa-apa selain mengadu pada asisten residen, yang terkadang perbuatan ini mengundang hukuman cambuk bagi pelapor, karena, bukankah mereka hidup dibawah kekuasaan orang yang mereka laporkan?

Seperti yang disampaikan Multatuli sendiri, cerita dalam buku ini campur aduk. Baik antara kehidupan saat ini Droogstoppel, maupun masa lalu Havelaar, juga masa lalu dari masa lalu Havelaar . Tapi itulah, melalui fakta-fakta yang kelihatannya tak penting itu, bahkan tak mempengaruhi alur cerita, Multatuli menyampaikan penderitaan yang dialami rakyat. Karena tujuan beliau menulis buku ini bukan sebagai hiburan, iya kan? Tapi sebagai bentuk kritik terhadap pemerintah, sebagai perjuangannya melawan ketidakadilan.

Dan hal itu jadi penting sekali, karena ditulis untuk orang-orang Eropa yang tidak tau bagaimana keadaan Hindia. Penjelasan-penjelasandalam buku ini jadi sangat detail dan bermanfaat bagi pembaca yang meski tinggal di tanah yang sama dengan latar buku ini, dapat memahami dengan jelas kondisi masa itu.

Multatuli, juga, meski berkata bahwa tulisannya mungkin memang tidak bagus. Bisa menggambarkan karakter-karakternya dengan kuat. Dikatakannya bahwa Havelaar lembut, maka dalam pidatonya dalam rapat setelah ia diangkat menjadi asisten residen, Havelaar tidak hanya berhasil menyentuh hati para pemimpin Lebak tapi juga pembaca. Hal yang sama juga terjadi bahkan saat ia hanya menceritakan tentang semut. Seluruh kisahnya dari awal sampai akhir benar-benar mengusik.

“Karena saya tahu, Tuhan mencintai orang miskin, dan Dia melimpahkan kekayaan kepada mereka yang hendak  diujinya. Tapi kepada orang miskin, Dia mengutus semua orang yang menyampaikan firman-Nya, sehingga mereka bisa bangkit di tengah penderitaan mereka”—p. 154

Tak heran, bagaimana kemudian kaum liberal di parlemen Belanda saat itu menuntut diberlakukannya Politik Etis (Edukasi, Irigasi, Migrasi) pada daerah jajahan, yang lalu menyebabkan mata pemuda kita terbuka akan keadaan dunia, semangat pergerakan dimulai, hingga akhirnya kita mencapai kemerdekaan. Dan di sinilah saya, duduk di salah satu daerah yang dulunya benama Buitenzorg—tempat para pengadu yang kabur mendapat hukuman cambuk—, membaca buku-buku berbahasa Indonesia yang pada 156 tahun lalu tidak ada satu eksemplar pun.

Komentar

  1. wowww... tampaknya buku yang benar2 berkesan ya.. nggak heran buku ini jadi legenda. Sampe sekarang aku sendiri belum baca, agak terintimidasi sama gaya bahasanya yang kayaknya klasik banget hihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, sama sekali gak heran buku ini masuk daftar 1001 buku yang harus dibaca sebelum mati. Ayo baca, mbak, menurutku--yang gak terlalu suka gaya bahasa njelimet--bahasanya cukup mudah dipahami

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Misteri Kota Topeng Angker - Yovita Siswati

Peter Pan - J. M. Barrie

Which Character Would You Choose?

The Litigators - John Grisham

Scene on Three #1