LPM: Peluncuran Sepilihan Cerpen Sepasang Sepatu Tua

Beberapa waktu lalu, secara tidak sengaja aku bertemu salah seorang teman SMA-ku, Mutwew. Seminggu sebelumnya aku memang berbasa-basi mengajaknya datang ke salah satu kegiatan kampusku. Ajakan yang dijawab dengan bahwa dia memang mau ke Bogor, dan masih setengah gak percaya ketika bertemu dia di angkot pas aku memang mau berangkat ke agenda kampus itu.

Akhirnya, dia gak ikut aku karena memang ada agenda lain juga. Kita juga gak bisa ngobrol banyak karena waktu sebatas jarak dan kecepatan angkot sampai tujuan. Tapi salah satu bahasan itu adalah tentang komunitas literasi masing-masing juga tentang acara peluncuran buku ini.

Sebetulnya ini termasuk dadakan. Kebetulan acaranya hari Rabu, pas jadwal kuliah memang kosong. Tapi setelah itu pun konfirmasi dari panitia juga H-1 dan temanku yang lain yang kuajak ikut serta juga berhalangan buat menemani. Akhirnya, berangkatlah aku sendirian. Aku dan Mutwew janjian di Stasiun Depok, dan dengan berbagai drama ketidakpastian supir angkot dan salah turun. Kami akhirnya bertemu di Stasiun Pondok Cina. Aku ketemu temen SMA ku yang lainnya, tapi ternyata dia gak ikut ke acara peluncuran buku itu.

Ini pertama kalinya aku ke Perpustakaan UI, dan lebih tepat kalau ini pertama kalinya aku ke UI. Sempet bingung juga nyari ruang kegiatannya di mana karena luas banget. Tapi untungnya gak nyasar.

Kegiatan di mulai, runtutannya sederhana. Pembukaan, sambutan, pembacaan cerpen, diskusi buku, pembacaan cerpen lagi.


Dan pengakuan lagi, ini pertama kali melihat eyang Sapardi secara langsung, rasanya aneh. Jujur saja, waktu memilih puisinya yang berjudul Pada Suatu Hari Nanti untuk tugas musikalisasi puisi aku kira beliau adalah orang yang serius. Aku sungguhan gak tau apa-apa, tapi kalau ada yang bercerita tentang kematian dengan cara ‘sesantai’ puisi itu, seorang kakek yang senang bergurau tentu bukan yang pertama kali terlintas di benak, bukan? Eh, atau aku saja?

Ngomong-ngomong soal puisi, aku pernah bilang ke temanku kalau aku gak suka puisi, soalnya sulit dipahami. Dan ternyata aku ‘ditampar’ di sini.

“Puisi itu bukan ada untuk di pahami, tapi di hayati” frasa yang sebenarnya sudah populer gaungnya, entah kenapa malah baru kupahami sekarang. “Sastra itu hidup karena memiliki banyak makna. Ketika makna nya dipaksa hanya satu, maka sastra mati” Beliau mengkritik soal-soal bahasa Indonesia tentang interpretasi makna sebuah puisinya, dimana bisa saja semua jawabannya benar. “Jangan tanya saya arti puisi-puisi saya, saya tidak tau”

Ngomong-ngomong soal dipahami dan tidak dipahami. Berkebalikan denganku yang tidak suka puisi karena tidak bisa dipahami, eyang bercerita kalau dia menulis puisi justru karena cerpennya dikritik tidak masuk akal oleh gurunya.

Ketika ditanya tentang sastrawan yang menginspirasi, eyang tidak langsung menyebutkan nama. Tapi perlahan tentang pengalamannya dengan literasi, buku pertama yang membuatnya ingin menulis, Chairil Anwar. Tapi buku-buku Rendra lah yang membuat beliau mantap menulis puisi. Balada Orang-Orang Tanah.

Kata eyang, yang paling penting dalam mencari inspirasi adalah karya satra itu sendiri. Kesalahan pelajaran sastra indonesia adalah lebih banyak mempelajar biografi sastrawan Indonesia alih-alih karya sastra itu sendiri. “Kalian tak perlu kenal saya, yang penting tulisan-tulisan saya”

Mungkin prinsip ini pula yang menmbuat beliau tidak ambil pusing dengan berbagai macam adaptasi puisinya entah dengan atau tanpa izin beliau. “Ketika saya menulis puisi, maka puisi itu jadi milik Saudara. Terserah mau di apakan”

Suka sekali dengan pesan terakhir beliau, bahwa menulis itu untuk bahagia, dan untuk berbagi kebahagian.

Di akhir hari, aku dan Mutwew bercerita lagi tentang komunitas literasi masing-masing, tentang hobi dan jurusan kuliah, tentang apalah arti membaca kalau tidak menulis. Yah,

.
.
.
.

udah tulisannya udahan, akhir yang dramatis itu penting, wkwk. But another note, aku seneng banget bisa hadir ke acara itu. Senang bisa ketemu dan dengar cerita banyak dari eyang. Seneng bisa jalan bareng Mutwew, padahal waktu SMA kita jarang main juga wkwk, seneng bisa main ke perpus UI, semacam pelampiasan karena gak bisa dateng BBW dan IBF hehehh

Komentar

Postingan populer dari blog ini

2nd Blogoversary Giveaway

My 2017 Wishlist

BBI Giveaway Hop

A Study in Scarlet - Sir Arthur Conan Doyle

Max Havelaar - Multatuli