menilai-buku-dari-format-file-nya.pdf


Satu hal mengherankan yang harus diakui menakjubkan, isu soal pembajakan buku, entah bagaimana pasti naik di sekitar bulan April. Oke, isu pembajakan buku memang tidak pernah selesai, dan pasti selalu ada setiap saat, tapi melihat bagaimana dalam tulisan rutin spesial Hari Buku dan Hak Cipta Sedunia pasti ada saja hal yang baru-baru terjadi soal isu ini.

2018, ketika untuk pertama kalinya aku bikin IG stori titik-titik soal tips baca si tempat legal. Motivasiku cuma buat nyindir orang yang nyebar-nyebarin link buku bajakan. Persis kayak yang rame kemarin, cuma emang gak nyampe jadi trending topic di twitter.

2019, yang rame adalah platform baca yang nyalin tulisan baca platform lain. Memang bukan buku terbit yang jadi sumber hidup orang lain, tapi pembajakan adalah pembajakan.

Dan tahun ini. Aku sendiri gak nyangka kalo ternyata pesan berantai soal sebaran link pdf bajakan seluas itu sampai jadi trending topic twitter dan menarik perhatian penulis-penulis populer. Soalnya, seperti kataku, tiap waktu pasti ada aja penyebar link begitu di grup WA.

Tapi di tengah amukan antar pecinta literasi, kasian juga sebenernya melihat orang-orang yang memang beneran simply GAK TAHU kalau mereka salah.

Dua tahun terakhir, tulisanku soal pembajakan isinya sama saja. Menyampaikan alternatif tempat baca lain yang gratis atau murah tapi pasti legal daripada baca buku bajakan. Sederhana saja, menurutku lebih penting menyampaikan solusi daripada marah-marah dan siapa tau malah menyinggung dan bikin orang jadi gak suka baca?

Tapi ketika menyampaikan solusi tanpa argumen kenapa solusi ini merupakan hal yang lebih baik, sepertinya yang kulakukan cuma menawarkan alternatif setara yang lebih ribet. Dan kalau ada yang gampang kenapa harus pake yang ribet, ya gak? Apalagi kalau "gak ada bedanya"

Apalagi link yang disebar kemarin gak cuma bikin orang ngerasa bisa baca buku gratis, tapi juga ngerasa berbuat baik.

Hah? Jelas-jelas nyuri gitu kok bisa ngerasa berbuat baik.

Masalahnya adalah: Gak jelas.

Beberapa orang yang nyebar link, ngaku, kalau mereka nyebar link karena "amanah" aku gak tau teks yang mereka dapet apa. Tapi intinya kamu udah dapet sekarang ayo bantu sebar biar berkahnya menyebar. Apalagi buku kan? Ilmu yang bermanfaat, iya, kalau disebar berarti amal jariyah?

Ada juga yang beralasan ini bukan bajakan, soalnya file pertamanya dibeli pake uang dan yang selanjutnya disebar. Jadi secara teknis, file yang disebar ini udah dibayar dong? Bukan curian dong? Dan disinilah yang ribet jelasinnya.

Bayangkan kamu beli buku fisik, lalu kamu pinjamkan ke temanmu. Jumlah buku yang ada tidak berubah, tetap satu, a copy, penerbit mengeluarkan satu buku, kamu membeli satu buku, dan ada satu buku berwujud.

Sekarang dengan file pdf yang tersebar. Kalaupun kamu membeli satu file, a copy, ketika kamu sebar jumlah copynya jadi tidak satu lagi kan? Penjual menjual satu, kamu membayar satu, tapi file yang ada tiba-tiba kamu mendapat dua, tiga, lima puluh, ratusan.

Inilah kenapa kebanyakan e-book dijual atau setidaknya tersedia dalam aplikasi-aplikasi tertentu, kadang dengan perangkat tertentu juga. Supaya transaksi dan kepemilikannya jelas. Memang minusnya, kita jadi gak bisa atau punya cerita minjemin buku ke temen. Karena meskipun secara teknis buku itu milik kita dalam bentuk digital, mengirimkan filenya tidak otomatis menghilangkan file kita dan malah balik lagi ke masalah sebelumnya. Sehingga semua orang harus membeli untuk memiliki di perangkatnya masing-masing.

Percaya atau tidak beberapa penulis bahkan menerapkan logika ini untuk buku fisik. Pernah ramai bahasan soal apakah pembaca boleh meminjamkan buku yang dibeli ke orang lain yang tidak membayar buku itu. Its funny. Tapi jadi memperjelas bagaimana karya fisik dan digital tidak bisa diperlakukan dengan cara yang sama.

Its should be treated like music and film. Kalau jaman dulu fisiknya dibeli dengan format kaset atau CD. Di era sekarang streaming atau subscribing platform penyedia bisa jadi solusi. Apalagi buku, jangankan yang digital, yang fisik saja kalau tidak dipinjamkan pasti jarang digunakan alias baca ulang, dan pasti berasa sayang banget kalau beli ebook dan gak dibaca lagi. Setidaknya kalau subscribe, jatuhnya jadi menyewakan, dan tak akan hilang yang tak pernah dimiliki, amirite.

Dan ngomong-ngomong soal musik dan film. Seperti kataku, ada orang-orang yang tidak tau menyebar file buku itu salah tapi memilih belajar dan tidak mengulangi. Tapi ada juga yang ngotot dan membandingkan dengan pembajakan film dan musik.

Sok sok an ngelarang pembajakan buku tapi masih download film.

First of all, kudos. Beneran salut sampai dedikasinya buat membela yang salah. Waktu denger argumen begitu pikiranku cuma "Ini pasti tipe orang yang ngomong 'ngapain berhijab kalo hatinya masih jelek'" wkwkwk.

Maksudku mereka gak salah, pernyataannya bener, bahwa pembajakan pada jenis media apapun salah. But to feel proud about it? To do it anyway, despite knowing it HARM people? Dan mereka membuka kedok mereka sendiri, bahwa mereka lah yang suka bajak film.

Dan banyak jenis-jenis orang ngotot lainnya.

Masyarakat tidak mampu yang gak sanggup beli buku. Eh kamu sadar kan kamu baca file pdf pake HAPE. Ebook di google play bahkan ada yang cuma goceng.

Penulis harusnya bangga karyanya dibajak, karena berarti karyanya dicintai. Cinta gak bikin kenyang, sayang. Dan kita bahkan belum bahas kerugian materil soal pembajakan buku.

Soal pembajakan buku memang gak bakal habis. Aku juga gak punya informasi sebanyak itu buat ngebahas soal ini. See I don't cite anything as all the information that I get is scrambled everywhere and God know how long its been since I read them. Aku cuma mau bilang, kalo kamu liat orang sebar bajak buku, jangan judge duluan, chance are the simply don't know they are wrong. Sampaikan yang baik dengan baik, kan?

Kecuali orang-orang yang ngotot, anhiliate 'em.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

2nd Blogoversary Giveaway

My 2017 Wishlist

BBI Giveaway Hop

A Study in Scarlet - Sir Arthur Conan Doyle

Max Havelaar - Multatuli