Title: Seri Misteri Favorit 5: Misteri Taman Berhantu (the mystery of the haunted garden)
Author: Fita Chakra
Illustrator: Indra Bayu
Publisher: Kiddo
Publication: Prints to-1, April 2014
Pages count: 137 pages
Genre: Mystery & Thrillers
ISBN: 978-979-91-0703-9
This book tells about Laras, Sekar, Amel, Qonita, Nathan and Marizio whom have an excursion in the National Park Bantimurung, Bulusaraung, South Sulawesi. One of the tourist attraction there is a museum and breeding butterflies. Everything went smoothly and fun. They were accompanied by Mrs. Fatima, their teachers; also Mr. Rico, a clumsy new teacher. Pak Darma, their 'tour guide' are also friendly, even there also Daeng Tinggi the mysterious one and Mr. Rudi, a hideous ranger. However, a strange feeling came to Amel, the evil one is among them, plan something destructive. Amel who was getting close to Laras, then took her to investigate this matter.
Okay, read this series, it was not fair if I only read from one author. So, I decided to instigate my sister to buy this book. The result? Not bad. different chefs, different taste. Fita Chakra has a different storytelling methods than Yovita Siswati. Mystery does not immediately appear in the beginning, so it might be a bit boring for some people, but not me, I like it. Explanation at the beginning strengthening the personality of the characters which are indeed many. Actually, the difference of each characters’s personality aren’t too obvious, but the conflict between them ... Umm, complex.
Sekar who have a sense of responsibility towards her sister (twins) felt she must keep Laras from all peril, while Laras was actually felt unfettered and sometimes hate to set by her sister. Then came Amel, a strange girl who feared by her friends. Then, Amel and Laras are being close, and Laras see the good side of Amel. Amel, the brave and earth lover one invites Laras to face danger for the sake of nature. Laras was faced with a dilemma, between obey Sekar to be quiet, sheltered and safe forever, or with Amel go out to the tension that she dreamed.
For the cultural exploration, it was limited in the Park Bantimurung only. In this case, about butterflies and things scientific. Too bad, because actually I wanted the distinctive culture of Sulawesi was discussed.
Already then, many annoying errors, like latin names that forgot to italicized. Not only Latin name, there seems to be a few paragraphs that forgot to italicized too or maybe forgot to replace the pronouns. In addition there is a misleading statement that the butterfly is more beautiful than moth, in reality there are many beautiful moths and there also butterflies with a simple pattern. Typo is also quite a lot, it does not matter if only letters typo, but word typo? whereas if look at the creative process of this novel, it seems the editing was already all-out. Why are also ways to preserve the butterfly should be written if it is illegal? If it is illegal, what about the museums that display the preserved animals? Wasn’t the animals already carcass?
But, regardless of the technical issues above, seriously, I really want go to Bantimurung!
Regard,
Fatiah and her bad english
***
Buku ini bercerita tentang Laras, Sekar, Amel, Qonita, Nathan dan Marizio yang sedang berdarmawisata di Taman Nasional Bantimurung, Bulusaraung, Sulawesi Selatan. Salah satu objek wisata disana adalah museum dan penangkaran kupu-kupu. Semuanya berjalan lancar dan menyenangkan. Mereka ditemani Bu Fatimah, guru mereka; juga Pak Rico, guru baru yang kikuk. Pak Darma, 'pemandu wisata' mereka juga ramah walau ada pula Daeng Tinggi yang misterius dan Pak Rudi yang menyeramkan. Namun, perasaan aneh menghampiri Amel, seseorang yang jahat ada di antara mereka, merencanakan sesuatu yang merusak. Amel yang sudah semakin dekat dengan Laras, kemudian mengajaknya untuk menyelidiki hal ini.
Oke, membaca seri ini, rasanya tak adil kalau hanya dari satu pengarang saja. Jadi, saya memutuskan untuk menghasut adik saya untuk membeli buku ini. Hasilnya? Tidak buruk. Lain koki, lain rasa. Fita Chakra punya metode bercerita yang berbeda dari Yovita Siswati. Misteri tidak langsung muncul di awal, sehingga mungkin agak membosankan bagi beberapa orang, tapi tidak saya, saya suka. Penjabaran di awal memperkuat karakter tokoh-tokohnya yang memang banyak. Memang sih, perbedaan tiap karakter tokohnya tidak kentara, tapi konflik antar mereka ... apa ya? kompleks.
Sekar yang memiliki rasa tanggungjawab terhadap adiknya (kembar) merasa harus menjaga Laras dari segala marabahaya, sementara Laras sebenarnya merasa terkekang dan kadang benci untuk diatur kakaknya. Lalu muncul Amel, gadis aneh yang ditakuti teman-temannya. Amel dan Laras menjadi dekat, dan Laras melihat sisi baik dari Amel. Amel yang berani dan mencintai alam mengajak Laras untuk menghadapi bahaya demi alam. Laras dihadapkan dengan dilema, antara menuruti Sekar untuk diam, berlindung dan aman selamanya, atau bersama Amel keluar menuju ketegangan yang ia impikan.
Untuk eksplorasi budayanya, memang hanya terbatas di Taman Nasional Bantimurung saja. Dalam hal ini, mengenai kupu-kupu dan hal-hal yang bersifat ilmiah. Sayang sekali, karna sebenarnya saya ingin budaya khas Sulawesi yang dibahas.
Sudah begitu, banyak kesalahan yang mengganggu, seperti nama latin yang lupa dicetak miring. Bukan hanya nama latin saja, sepertinya ada beberapa paragraf yang lupa dicetak miring juga atau mungkin lupa diganti kata gantinya. Selain itu ada penyataan menyesatkan bahwa kupu-kupu lebih cantik dari ngengat, kenyataanya ada lo ngengat yang cantik dan kupu-kupu dengan pola sederhana. Typo-nya juga lumayan banyak, tak masalah kalau hanya typo huruf, tapi typo kata? Padahal jika melihat proses kreatif novel ini, sepertinya editing-nya sudah habis-habisan. Kenapa pula cara pengawetan kupu-kupu harus ditulis jika memang illegal? Jika memang illegal, bagaimana dengan museum-museum yang memajang hewan awetan? Tidakkah hewan-hewan itu memang sudah bangkai?
Tapi, terlepas dari hal teknis diatas, serius deh, saya jadi pengen ke Bantimurung!
#BBIBookishConfession Halo pembaca yang budiman! *krik**krik* Jadi setelah bolos selama Februari-Mei kemarin, akhirnya saya posting bareng BBI lagi. Haa, ampuun. Dan saya gak akan membela diri, emang dasar sayanya kurang usaha buat ikutan semuanya huhuhu. Sudahlah, kembali ke topik. Jadi bulan Juni ini, tema posbarnya adala Bookish Confession. Kita di minta membuat "pengakuan" seputar buku yang selama ini gak banyak diketahui oleh orang-orang di sekitar . Meski katanya jangan berpikir terlalu keras, tapi saya jadi bingung sendiri. Soalnya, saya sendiri orangnya ember abis, jadi kayaknya gak ada yang tersisa sebagai rahasia. Tapi setelah melihat kata “pengakuan”, tiba-tiba saya jadi keinget sesuatu, semacam ironi yang saya lakukan sebagai orang yang ngaku-ngaku sebagai pecinta buku.
I barely didn't read any mystery book this month. Actually the only one mystery book i’ve read since the middle of this month is The Ice Princess by Camilla Lackberg. It took me a little longer to finished it because the book is not in my native language. I wish I can finished it next month. Especially, on April I will have many free time, even there many exam too. and about my opinion about this book so far. I thought Erica has an strange situation. I mean, she doesn't close to Alex again in long time, but everyone treat her like it was the most terrible accident in her life. But, its okay, i'm still can't wait to know what are really happen to Alex.
goodreads "Pandangan dan idealisme itu ditentukan oleh lingkungan tempat seseorang lahir dan dibesarkan. Lalu, dasar penilaiannya atas orang lain bergantung pada siapa orang yang kali pertama berinteraksi dengannya. Artinya, bagi sebagian besar orang, sosok itu adalah sosok seorang ibu, bukan?" –hal.236 Sebesar aku percaya bahwa tidak ada alasan bagi siapa pun untuk menjadikan perlakuan orang lain terhadapnya sebagai pembenaran setiap kelakuan buruk yang dilakukan, karena setiap orang bisa berubah. Aku juga percaya bagi anak-anak, pengaruh keluarga jelas punya andil besar dalam menjelaskan kenapa dia melakukan apa yang dilakukan. Menjelaskan, tapi tetap tidak bisa menjadi pembenaran. Dan dengan banyak menggunakan dinamika antara ibu dan anak dalam ceritanya, bagaimana "cara mendidik" mempengaruhi perbuatan satu sama lain. Confessions membawa cerita dengan mempermainkan dilema antara penjelasan dan pembenaran. "Orang dewasa cuma bisa meng...
goodreads "Kau punya hati yang baik," katanya pada Richard. "Suatu hari itu sudah cukup untuk membuatmu selamat di mana pun kau berada." Lalu dia menggeleng. "Tapi lebih sering lagi, tidak." (hal. 14) Neverwhere bercerita tentang Richard Mayhew, seorang pria dengan kehidupan biasa di London yang biasa. Kau tau, pekerjaan kantoran, kawan-kawan yang bisa diajak pergi minum-minum di akhir pekan, apartemen yang lumayan, tunangan yang cantik jelita tapi selalu menuntut. Dan apa hal paling biasa yang mungkin dilakukan ketika kau menemukan seorang gadis terluka tergeletak di trotoar? Richard menolongnya. Dan entah apakah itu merupakan pilihan yang bagus, karena detik berikutnya Richard kehilangan semuanya. Dan satu-satunya cara mendapatkannya kembali adalah membantu Door, gadis yang baru saja ditolongnya mencari tahu siapa pembunuh keluarganya. Bersama pengawal gadis itu, Hunter, juga Marquis de Carabas, mereka menelusuri dunia bawah London yang penuh bahaya,...
"Otak manusia itu selalu berusaha untuk berjuang dan mengingat, tapi kalau ada sesuatu yang tertulis, kau sudah tidak perlu lagi mengingatnya, dan bisa dengan tenang melupakannya. Sisakan kenangan yang menyenangkan, kenangan yang buruk tulis dan lupakanlah." –Minato Kanae, Confessions Ketika membaca kutipan itu, aku merasa dipojokkan, tapi juga sekaligus lega karena ternyata aku bukan satu-satunya yang melakukan ini. Yah, setidaknya kalau seorang karakter fiksi mengakuinya, aku asumsikan kebiasan ini setidaknya cukup masuk akal dilakukan bukan. Kita biasanya mendengar orang mencatat sesuatu untuk mengingatnya, tapi menulis untuk melupakan? Akui saja kalau konsep ini terasa asing. Dah, ya, kurasa sekarang akhirnya aku memahami apa maksud orang-orang ketika berkata menulis itu menjadi terapi. Menulis itu menolong. Menulis itu membebaskan. Maksudku, aku juga suka menulis, tapi ide soal menulis itu membebaskan masih gak masuk akal buatku. Mungkin karena darip...
Komentar
Posting Komentar